Sukses mendapatkan beasiswa dan sukses studinya

By : Chusnul Mar’iyah

1. Untuk sukses studi terdapat berbagai factor, di antaranya dapat memilih topik yang sedang diminati oleh kebijakan dari negara pemberi beasiswa. Hal tersebut terutama untuk social sciences. Apa yang sedang diminati dan membuat topik yang sesuai dengan yang diminati serta sesuai dengan minat kita. Paling tidak harus ada kompromi. Menulis proposal harus pula jelas dan tajam. Jangan malu-malu bertanya.

2. Bahasa Inggris, menjadi hambatan untuk kita yang biasanya dari daerah-2. Nah, kita perlu belajar dengan rajin mendengarkan berita dalam bahasa Inggris, misalnya. Juga harus ada keinginan yang besar dan niat yang kuat untuk bisa bahasa Inggris. Saya yakin kita semua bisa. Apalagi yang memiliki kemampuan multi bahasa, ada bahasa Jawa, bahasa Indonesia, bahasa Arab, atau bhs lainnya. Belajar bahasa Inggris tidak sulit.
3. Saya sendiri berangkat dengan bahasa Inggris pas-pasan. Bahkan ada professor serta teman mengatakan, kamu berani sekali mengambil Ph.D dengan bahasa Inggris pas-pasan. Well .. jangan takut, EGP saya dapat beasiswa kok. Asal anda mau belajar, semua menjadi mudah. Saya punya strategi sendiri. Setelah di Australia, saya tidak tinggal dengan orang Indonesia, ya kalau orang Indonesia numpang beberapa waktu di tempat saya iya juga, tapi tidak lama. Tidak terlalu banyak bermain dengan orang Indonesia.

Maaf, walau sering dianggap sombong, wah ya biarkan saja. Ini mau belajar, bahasa Inggris yang pas-pasan itu, kalau dengan orang Indonesia ya bahasa Inggrisnya tidak maju-maju. Termasuk saya dapat memaksa para ahli Indonesia tidak berbicara bahasa Indonesia dengan saya.

Masuk di kelas malam sebelumnya harus banyak membaca supaya besoknya mengerti apa yang sedang dibicarakan oleh dosennya. Harus ada minat yang kuat dan mempraktekkan bahasa tsb. Jangan takut salah. Bisa dihitung satu dua saja orang asing yang menulis tesis dalam bahasa Indonesia, kita menulis tesis dalam bahasa Inggris. Jadi masih lebih bagus kan? Percaya diri harus bisa bahasa Inggris. Tapi jangan sok pinter. Intinya belajar, belajar, dan belajar, baca, baca dan baca.

Bangun pagi alarmnya, news dalam bahasa Inggris. Paling tidak membutuhkan 6 bulan proses tersebut. Setelah 6 bulan, alhamdulillah membaca buku, artikel, berteman dengan orang Indonesia dan bicara Bhs Indonesia, sudah tidak takut bahasa inggrisnya hilang. Bahkan pada semester 3 saya sudah ditawari untuk menjadi tutor mata kuliah South East Asian Politics di Sydney University (selama lima tahun) yang memiliki mahasiswa sampai 70 orang, artinya sampai memiliki 5 kelas tutorial. Nah, terpaksa harus berbicara bahasa Inggris kan? Gramar salah tidak usah takut, tapi tetap harus belajar.

4. Menulis disertasi atau tesis itu sendirian, lama dan lonely, makanya memang harus memilih topik yang menarik. Menulis disertasi di luar negeri harus mengubah budaya di Indonesia. Mahasiswa kebiasaannya hanya menulis pada satu tahun terakhir. Di luar negeri, kalau bisa sejak berada di negeri tersebut imannya harus kuat, topik jangan berubah-ubah namun boleh terus-menerus dipertajam, menulis langsung dalam bahasa inggris, jangan bahasa Indonesia terus diterjemahkan. Jangan menggunakan kamus Inggris-Indonesia, tapi gunakan kamus Inggris-Inggris. Hal tersebut akan membantu anda dalam menulis dan memahami. Cintailah bahasa inggris tersebut supaya lebih cepat dapat mengerti.

5. Rekomendasi menjadi penting. Contoh, kenapa dari kelompok pemuda NU sekarang banyak yang sekolah ke luar negeri dibandingkan pemuda Muhamadiyah? Kelompok laki-lakinya tentu lebih banyak dari perempuan? Kelompok Kristen lebih banyak dibanding Muslim (secara prosentase)?
Sekarang IAIN mendapatkan prioritas diterima. Kesemuanya itu adalah berhubungan dengan rekomendasi, baik dari Indonesia maupun dari team dari negara pemberi beasiswa. Saya yakin kelompok HMI memiliki akses rekomendasi di seluruh dunia. Di sini penting bagaimana rekomendasi tersebut dapat menarik atau dapat “menjual diri” dengan baik.


Saya dahulu karena rekomendasi dari Prof. Richard Chauvel, bahkan beliau sampai mencarikan siapa yang akan menjadi pembimbing saya. Prof. Richard Chauvel adalah dosen tamu yang mengajar politik Australia di UI selama 4 tahun. Pertemanan dengan beliau sudah banyak menghasilkan lulusan Australia.

6. Menurut saya para alumni harus membangun institusionalisasi beasiswa dengan membuat lembaga pemberi beasiswa, atau dapat berbicara dengan negara pemberi beasiswa. Oleh karena itu perlu dimulai pembentukan lembaga untuk mengumpulkan dana abadi untuk dapat memberi beasiswa. Saya agak risi kalau setiap awal semester harus meyakinkan kepada senior bahwa mahasiswa ini membutuhkan beasiswa untuk membayar uang SPP kalau tidak akan di DO.

7. Alumni yang ada di pemerintahan dapat pula bernegosiasi untuk membangun network dengan negara pemberi beasiswa. Hal ini dapat dilakukan melalui kegiatan2 selain diskusi-2 seperti biasanya. Contoh, Wakil Presiden dan para direktur-2nya. Katakan, kalau AUSAID memberi sampai 500 beasiswa, kenapa tidak Wakil Presiden meminta 10 saja dengan menentukan scheme sendiri. Untuk Australia bisa ada scheme ADS, ALA, APS, Alison Sudrajat, atau yang langsung dengan universitas yang bersangkutan. Ada beasiswa lengkap dengan biaya hidup, ada yang hanya tuition fee. Demikian pula dengan beasiswa dari berbagai departemen seperti Departemen Keuangan yang sangat kaya itu. Mustinya semua departemen melakukannya. Kenapa jadinya Departemen Pendidikan bingung menghabiskan dana 20% APBN? Saat ini Departemen Pendidikan sedang memberikan beasiswa yang sangat banyak bagi model Sandwich program 1 tahun di luar negeri untuk S3 atau S2 juga? Lembaga dapat memberikan fasilitas untuk informasi tersebut.

8. Sebagai Ketua Program Pascasarjana Politik FISIP UI pada tahun 2000-2003 dulu, saya seringkali dikeluhkesahi oleh mahasiswa yang tidak dapat uang dari senior-seniornya. Saya berfikir kenapa senior lebih suka memberi uang kepada mahasiswa sekali-kali, dibandingkan kepada lembaga yang memberikan beasiswa tersebut? Mungkin senior akan dapat membangun
konstituen atau klik atau apa saja dengan memberikan uang kepada mahasiswa tersebut, semacam balas budi? Kenapa tidak dilakukan institusionalisasi untuk dapat memberikan beasiswa dengan visi dan misinya? Tentu saja tidak dilarang tetap memberikan zakat berupa beasiswa kepada mahasiswa tertentu.

9. Beasiswa untuk program jangka pendek sangat banyak sekali. Silahkan rajin-rajin mengikuti program pendek tersebut. Bahkan saat ini setelah selesai dengan KPU, saya mendapatkan ALA Research Fellowship di Victoria University, Melbourne. Karena seorang kolega saya (lagi-lagi Prof. Richard Chauvel) sangat prihatin dengan kondisi saya di KPU pasca pemilu
2004. Beliau dengan Prof. Michael Meigh dan Dr. Barbara Leigh mencarikan jalan untuk dapat mengundang saya ke Australia, untuk disuruh membaca, menulis dan memberi kuliah. Mereka sangat menghargai pengalaman politik kita, walau saya berfikir kok bangsa sendiri malah seringnya hanya menghujat dan meremehkan ya? Itu namanya nasib dan takdir barangkali ya?


10. Semua beasiswa dari negara-negara maju dapat diakses melalui internet. Silahkan cek saja melalui Google, anda akan mendapatkan informasi beasiswa apapun. Jangan terlambat. Saya yakin banyak orang yang memiliki pengalaman yang sama dalam hal ini dapat share pengalamannya.

Bagi mereka yang ingin mendapatkan beasiswa dan sekedar bertanya dengan senang hati dapat langsung beremail kepada saya. Selamat untuk menjemput beasiswa dan selamat belajar.